BAB 14
Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Pengertian Sengketa
Pengertian sengketa dalam kamus Bahasa
Indonesia, berarti pertentangan atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi
atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi
terhadap satu objek permasalahan. Senada dengan itu Winardi mengemukakan :
Pertentangan atau konflik yang terjadi antara
individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau
kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat
hukum antara satu dengan yang lain.
Sedangkan menurut Ali Achmad berpendapat :
Sengketa adalah pertentangan antara dua pihak
atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan
atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.
Dari kedua pendapat diatas maka dapat
dikatakan bahwa sengketa adalah prilaku pertentangan antara dua orang atau
lebih yang dapat menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberi
sangsi hukum bagi salah satu diantara keduanya
Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Penyelesaian sengketa secara damai bertujuan
untuk mencegah dan mengindarkan kekerasan atau peperangan dalam suatu
persengketaan antar negara. Menurut pasal 33 ayat 1 (Perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan) Piagam PBB penyelesaian
sengketa dapat ditempuh melalui cara-cara sebagai berikut:
1. Negosiasi (perundingan)
Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan
usul-usul antara dua pihak untuk menyelesaikan suatu persengketaan, jadi tidak
melibatkan pihak ketiga.
2. Enquiry (penyelidikan)
Penyelidikan dilakukan oleh pihak ketiga yang
tidak memihak dimaksud untuk mencari fakta.
3. Good offices (jasa-jasa baik)
Pihak ketiga dapat menawarkan jasa-jasa baik
jika pihak yang bersengketa tidak dapat menyelesaikan secara langsung
persengketaan yang terjadi diantara mereka.
Penyelesaian perkara perdata melalui sistem
peradilan:
1. Memberi
kesempatan yang tidak adil (unfair), karena lebih memberi kesempatan kepada
lembaga-lembaga besar atau orang kaya.
2. Sebaliknya
secara tidak wajar menghalangi rakyat biasa (ordinary citizens) untuk perkara
di pengadilan.
Tujuan memperkarakan suatu sengketa:
1. adalah
untuk menyelesaikan masalah yang konkret dan memuaskan,
2. dan
pemecahannya harus cepat (quickly), wajar (fairly) dan murah (inexpensive)
Selain dari pada itu berperkara melalui
pengadilan:
1. lama
dan sangat formalistik (waste of time and formalistic),
2. biaya
tinggi (very expensive),
3. secara
umum tidak tanggap (generally unresponsive),
4. kurang
memberi kesempatan yang wajar (unfair advantage) bagi yang rakyat biasa.
Sistem Alternatif Yang Dikembangkan
a). Sistem Mediation
Mediasi berarti menengahi atau penyelesaian
sengketa melalui penengah (mediator). Dengan demikian sistem mediasi, mencari
penyelesaian sengketa melalui mediator (penengah). Dari pengertian di atas,
mediasi merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebagai terobosan
atas cara-cara penyelesaian tradisional melalui litigation (berperkara di
pengadilan). Pada mediasi, para pihak yang bersengketa, datang bersama secara
pribadi. Saling berhadapan antara yang satu dengan yang lain. Para pihak
berhadapan dengan mediator sebagai pihak ketiga yang netral. Peran dan fungsi
mediator, membantu para pihak mencari jalan keluar atas penyelesaian yang
mereka sengketakan. Penyelesaian yang hendak diwujudkan dalam mediasi adalah
compromise atau kompromi di antara para pihak. Dalam mencari kompromi, mediator
memperingatkan, jangan sampai salah satu pihak cenderung untuk mencari
kemenangan. Sebab kalau timbul gejala yang seperti itu, para pihak akan
terjebak pada yang dikemukakan Joe Macroni Kalau salah satu pihak ingin mencari
kemenangan, akan mendorong masing-masing pihak menempuh jalan sendiri (I have may
way and you have your way). Akibatnya akan terjadi jalan buntu (there is no the
way).
Cara dan sikap yang seperti itu, bertentangan
dengan asas mediasi:
1. bertujuan
mencapai kompromi yang maksimal,
2. pada
kompromi, para pihak sama-sama menang atau win-win,
3. oleh
karena itu tidak ada pihak yang kalah atau losing dan tidak ada yang menang
mutlak.
Manfaat yang paling mennjol, antara lain:
1. Penyelesaian
cepat terwujud (quick). Rata-rata kompromi di antara pihak sudah dapat terwujud
dalam satu minggu atau paling lama satu atau dua bulan. Proses pencapaian
kompromi, terkadang hanya memerlukan dua atau tiga kali pertemuan di antara
pihak yang bersengketa.
2. Biaya
Murah (inexpensive). Pada umumnya mediator tidak dibayar. Jika dibayarpun,
tidak mahal. Biaya administrasi juga kecil. Tidak perlu didampingi pengacara,
meskipun hal itu tidak tertutup kemungkinannya. Itu sebabnya proses mediasi
dikatakan tanpa biaya atau nominal cost.
3. Bersifat
Rahasia (confidential). Segala sesuatu yang diutarakan para pihak dalam proses
pengajuan pendapat yang mereka sampaikan kepada mediator, semuanya bersifat
tertutup. Tidak terbuka untuk umum seperti halnya dalam proses pemeriksaan
pengadilan (there is no public docket). Juga tidak ada peliputan oleh wartawan
(no press coverage).
4. Bersifat
Fair dengan Metode Kompromi. Hasil kompromi yang dicapai merupakan penyelesaian
yang mereka jalin sendiri, berdasar kepentingan masing-masing tetapi kedua
belah pihak sama-sama berpijak di atas landasan prinsip saling memberi
keuntungan kepada kedua belah pihak. Mereka tidak terikat mengikuti preseden
hukum yang ada. Tidak perlu mengikuti formalitas hukum acara yang dipergunakan
pengadilan. Metode penyelesaian bersifat pendekatan mencapai kompromi. Tidak
perlu saling menyodorkan pembuktian. Penyelesaian dilakukan secara: (a)
informal, (b) fleksibel, (c) memberi kebebasan penuh kepada para pihak
mengajukan proposal yang diinginkan.
5. Hubungan
kedua belah pihak kooperatif. Dengan mediasi, hubungan para pihak sejak awal
sampai masa selanjutnya, dibina diatas dasar hubungan kerjasama (cooperation)
dalam menyelesaikan sengketa. Sejak semula para pihak harus melemparkan
jauh-jauh sifat dan sikap permusuhan (antagonistic). Lain halnya berperkara di
pengadilan. Sejak semula para pihak berada pada dua sisi yang saling berhantam
dan bermusuhan. Apabila perkara telah selesai, dendam kesumat terus membara
dalam dada mereka.
6. Hasil
yang dicapai WIN-WIN. Oleh karena penyelesaian yang diwujudkan berupa kompromi
yang disepakati para pihak, kedua belah pihak sama-sama menang. Tidak ada yang
kalah (lose) tidak ada yang menang (win), tetapi win-win for the beneficial of
all. Lain halnya penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Pasti ada yang kalah
dan menang. Yang menang merasa berada di atas angin, dan yang kalah merasa
terbenam diinjak-injak pengadilan dan pihak yang menang.
7. Tidak
Emosional. Oleh karena cara pendekatan penyelesaian diarahkan pada kerjasama
untuk mencapai kompromi, masing-masing pihak tidak perlu saling ngotot
mempertahankan fakta dan bukti yang mereka miliki. Tidak saling membela dan
mempertahankan kebenaran masing-masing. Dengan demikian proses penyelesaian
tidak ditunggangi emosi.
b). Sistem Minitrial
Sistem yang lain hampir sama dengan mediasi
ialah minitrial. Sistem ini muncul di Amerika pada tahun 1977. Jadi kalau
terjadi sengketa antara dua pihak, terutama di bidang bisnis, masing-masing
pihak mengajak dan sepakat untuk saling mendengar dan menerima persoalan yang
diajukan pihak lain:
1. setelah
itu baru mereka mengadakan perundingan (negotiation),
2. sekiranya
dari masalah yang diajukan masing-masing ada hal-hal yang dapat diselesaikan,
mereka tuangkan dalam satu resolusi (resolution).
c). Sistem Concilition
Konsolidasi (conciliation), dapat diartikan
sebagai pendamai atau lembaga pendamai. Bentuk ini sebenarnya mirip dengan apa
yang diatur dalam Pasal 131 HIR. Oleh karena itu, pada hakikatnya sistem
peradilan Indonesia dapat disebut mirip dengan mix arbitration, yang berarti:
1. pada
tahap pertama proses pemeriksaan perkara, majelis hakim bertindak sebagai
conciliator atau majelis pendamai,
2. setelah
gagal mendamaikan, baru terbuka kewenangan majelis hakim untuk memeriksa dan
mengadili perkara dengan jalan menjatuhkan putusan.
Akan tetapi, dalam kenyataan praktek, terutama
pada saat sekarang; upaya mendamaikan yang digariskan pasal 131 HIR, hanya
dianggap dan diterapkan sebagai formalitas saja. Jarang ditemukan pada saat
sekarang penyelesaian sengketa melalui perdamaian di muka hakim.
Lain halnya di negara-negara kawasan Amerika,
Eropa, maupun di kawasan Pasific seperti Korea Selatan, Jepang, Hongkong,
Taiwan, dan Singapura. Sistem konsiliasi sangat menonjol sebagai alternatif.
Mereka cenderung mencari penyelesaian melelui konsiliasi daripada mengajukan ke
pengadilan.
Di negara-negara yang dikemukakan di atas,
lembaga konsiliasi merupakan rangkaian mata rantai dari sistem penyelesaian
sengketa dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. pertama;
penyelesaian diajukan dulu pada mediasi
2. kedua;
bila mediasi gagal, bisa dicoba mencari penyelesaian melalui minirial
3. ketiga;
apabila upaya ini gagal, disepakati untuk mencari penyelesaian melalui
kosolidasi,
4. keempat;
bila konsiliasi tidak berhasil, baru diajukan ke arbitrase.
Memang, setiap kegagalan pada satu sistem,
penyelesaian sengketa dapat langsung diajukan perkaranya ke pengadilan
(ordinary court). Misalnya, mediasi gagal. Para pihak langsung mencari
penyelesaian melalui proses berperkara di pengadilan. Akan tetapi pada saat
sekarang jarang hal itu ditempuh. Mereka lebih suka mencari penyelesaian
melalui sistem alternatif, daripada langsung mengajukan ke pengadilan. Jadi di
negara-negara yang disebut di atas, benar-benar menempatkan kedudukan dan
keberadaan pengadilan sebagai the last resort, bukan lagi sebagai the first
resort.
Biasanya lembaga konsiliasi merupakan salah
satu bagian kegiatan lembaga arbitrase, arbitrase institusional, bertindak juga
sebagai conciliation yang bertindak sebagai conciliator adalah panel yang
terdaftar pada Arbitrase Institusional yang bersangkutan:
1. sengketa
yang diselesaikan oleh lembaga konsiliasi pada umumnya meliputi sengketa
bisnis,
2. hasil
penyelesaian yang diambil berbentuk resolution, bukan putusan atau award
(verdict),
3. oleh
karena itu, hasil penyelesaian yang berbentuk resolusi tidak dapat diminta
eksekusi ke pengadilan,
4. dengan
demikian, walaupun resolusi memeng itu bersifat binding (mengikat) kepada para
pihak, apabila salah satu pihak tidak menaati dengan sukarela tidak dapat
diminta eksekusi ke pengadilan. Dalam hal yang seperti itu penyelesaian
selanjutnya harus mengajukan gugatan ke pengadilan.
d). Sistem Adjudication
Sistem Adjudication merupakan salah satu
alternatif penyelesaian sengketa bisnis yang baru berkembang di beberapa
negara. Sistem ini sudah mulai populer di Amerika dan Hongkong.
Secara harafiah, pengertian “ajuddication”
adalah putusan. Dan memang demikian halnya. Para pihak yang bersengketa sepakat
meminta kepada seseorang untuk menjatuhkan putusan atas sengketa yang timbul
diantara mereka:
1. orang
yang diminta bertindak dalam adjudication disebut adjudicator
2. dan
dia berperan dan berfungsi seolah-olah sebagai HAIM (act as judge),
3. oleh
karena itu, dia diberi hak mengambil putusan (give decision).
Pada prinsipnya, sengketa yang diselesaikan
melalui sistem adjudication adalah sengketa yang sangat khusus dan kompleks
(complicated). Tidak sembarangan orang dapat menyelesaiakan, karena untuk itu
diperlukan keahlian yang khusus oleh seorang spesialis profesional. Sengketa
konstruksi misalnya. Tidak semua orang dapat menyelesaikan. Diperlukan seorang
insinyur profesional. Di Hongkong misalnya. Sengketa mengenai pembangunan
lapangan terbang ditempuh melalui lembaga adjudication oleh seorang adjudicator
yang benar-benar ahli mengenai kontruksi lapangan terbang.
Proses penyelesaian sengketa meleui sistem
ini, sangat sederhana. Apabila timbul sengketa:
1. para
pihak membuat kesepakatan penyelesaian melaui adjudication,
2. berdasar
persetujuan ini, mereka menunjuk seorang adjudicator yang benar-benar
profesional,
3. dalam
kesepakatan itu, kedua belah pihak diberi kewenangan (authority) kepada
adjudicator untuk mengabil keputusan (decision) yang mengikat kepada kedua
belah pihak (binding to each party),
4. sebelum
mengambil keputusan, adjudicator dapat meminta informasi dari kedua belah
pihak, baik secara terpisah maupun secara bersama-sama.
e). Sistem Arbitrase
Mengenai arbitrase, sudah lama dikenal. Semula
dikenal oleh Inggris dan Amerika pada tahun 1779 melaui Jay Treaty. Berdasar
data ini, perkembangan arbitrase sebagai salah satu sistem alternatif tempat
penyelesaian sengketa, sudah berjalan selam adua abad.Sekarang semua negara di
dunia telah memiliki Undang-undang arbitrase.
Di Indonesia ketentuan arbitrase diatur dalam
Buku Ketiga RV. Dengan demikian, umurnya sudah terlampau tua, karena RV
dikodifikasi pada tahun 1884. Oleh karena itu, aturan yang terdapat didalamnya
sudah ketinggalan, jika dibandingkan dengan perkembangan kebutuhan.
Memang banyak persamaan prinsip antara
arbitrase dengan sistem alternatif yang lain tadi, seperti:
1. sederhana
dan cepat (informal dan quick),
2. prinsip
konfidensial,
3. diselesaikan
oleh pihak ketiga netral yang memiliki pengetahuan khusus secara profesional.
Namun, demikian, di balik persamaan itu
terdapat perbedaan dianggap fundamental, sehingga dunia bisnis lebih cenderung
memiliki mediation, minitrial atau adjusdication. Perbedaan yang dianggap
fundamental, antara lain dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
1. Masalah
biaya, dianggap sangat mahal (expensive). Biaya yang harus dikeluarkan
penyelesaian arbitrase, hampir sama adengan biaya litigasi di pengadilan.
Terdapat beberapa komponen biaya yang harus dikeluarkan, sehingga terkadang
jauh lebih besar biaya dengan apa yang harus dikeluarkan bila perkara diajukan
ke pengadilan. Komponen biaya atrbitrase terdiri dari: (a) Biaya administrasi
(b) Honor arbitrator. (c) Biaya transportasi dan akomodasi arbitrator (d) Biaya
saksi dan ahli. Komponen biaya yang seperti itu, tidak ada dalam mediasi atau
minitrial. Jika pun ada biaya yang harus dikeluarkan, jauh lebih kecil. Apalagi
mediasi, boleh dikatakan tanpa biaya atau nominal cost.
2. Masalah
sederhana dan cepat. Memang benar salah satu prinsip pokok penyelesaian
sengketa melalui arbitrase adalah informal procedure and can be put in motion
quickly. Jadi prinsipnya informal dan cepatI. Tetapi kenyataan yang terjadi
adalah lain. Tanpa mengurangi banyaknya sengketa yang diselesaikan arbitrase
dalam jangka waktu 60-90 hari, Namun banyak pula penyelesaian yang memakan
waktu panjang. Bahkan ada yang bertahun-tahun atau puluhan tahun. Apalagi
timbul perbedaan pendapat mengenai penunjukkan arbitrase, Rule yang disepakati
atau hukum yang hendak diterapkan (governing law), membuat proses penyelesaian
bertambah rumit dan panjang.
Kelebihan tersebut antara lain:
1. Dijamin
kerahasiaan sengketa para pihak
2. dapat
dihindari kelambatan yang diakibatkan karena prosedural dan administratif;
3. para
pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan,
pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan,
jujur dan adil;
4. para
pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta
proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
5. putusan
arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata
cara (prosedur) yang sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa
penyelesaian sengketa dapat digolongkan dalam 3 (tiga) golongan, yaitu:
1. Penyelesaian
sengketa dengan menggunakan negosiasi, baik yang bersifat langsung (negtation
simplister) maupun dengan penyertaan pihak ketiga (mediasi dan konsiliasi),
2. Penyelesaian
sengketa dengan cara litigasi, baik yang bersifat nasional maupun
internasional.
3. Penyelesaian
sengketa dengan menggunakan arbitrase, baik yang bersifat ad-hoc yang
terlembaga.
Arbitrase secara umum dapat dilakukan dalam
penyelesaian sengketa publik maupun perdata, namun dalam perkembangannya
arbitrase lebih banyak dipilih untuk menyelesaikan sengketa kontraktual
(perdata). Sengketa perdata dapat digolongkan menjadi:
1. Quality
arbitration, yang menyangkut permasalahan faktual (question of fact) yang
dengan sendirinya memerlukan para arbiter dengan kualifikasi teknis yang
tinggi.
2. Technical
arbitration, yang tidak menyangkut permasalahan faktual, sebagaimana halnya
dengan masalah yang timbul dalam dokumen (construction of document) atau
aplikasi ketentuan-ketentuan kontrak.
3. Mixed
arbitration, sengketa mengenai permasalahan faktual dan hukum (question of fact
and law).
http://donathory.blogspot.com/2015/07/aspek-dalam-hukum-ekonomi-bab-14.html